5 Masjid Terindah di Jawa Timur yang wajib di kunjungi

Berikut kami tampilkan konten tentang 5 masjid terindah di jawa timur yang wajib di kunjungi oleh traveler.

1. Masjid Nasional Al Akbar Surabaya

Masjid Nasional Al Akbar (atau biasa disebut Masjid Agung Surabaya) ialah masjid terbesar kedua di Indonesia yang berlokasi di Kota SurabayaJawa Timur setelah Masjid Istiqlal di Jakarta. Posisi masjid ini berada di samping Jalan Tol Surabaya-Porong. Ciri yang mudah dilihat adalah kubahnya yang besar didampingi 4 kubah kecil yang berwarna biru. Serta memiliki satu menara yang tingginya 99 meter.
Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya dibangun sejak tanggal 4 Agustus 1995, atas gagasan Wali Kota Surabaya saat itu, H. Soenarto Soemoprawiro. Pembangunan Masjid ini ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Namun karena krisis moneter pembangunannya dihentikan sementara waktu. Tahun 1999, masjid ini dibangun lagi dan selesai tahun 2001. Pada 10 November 2000, Masjid ini diresmikan oleh Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid.
Secara fisik, luas bangunan dan fasilitas penunjang MAS adalah 22.300 meter persegi, dengan rincian panjang 147 meter dan lebar 128 meter. Bentuk atap MAS terdiri dari 1 kubah besar yang didukung 4 kubah kecil berbentuk limasan serta 1 menara. Keunikan bentuk kubah MAS ini terletak pada bentuk kubah yang hampir menyerupai setengah telur dengan 1,5 layer yang memiliki tinggi sekitar 27 meter. Untuk menutup kubah, dipergunakan sebuah produk yang juga digunakan di beberapa masjid raya seperti Masjid Raya Selangor di Syah Alam (Malaysia). Ciri lain dari masjid raksasa ini adalah pintu masuk ke dalam ruangan masjid tinggi dan besar dan mihrabnya adalah mihrabmasjid terbesar di Indonesia.
Sumber : https://id.wikipedia.org/

2. Masjid Agung Tuban

Sebelum menjadi Masjid Agung Tuban, sebelumnya masjid ini dikenal sebagai Masjid Jami’ Tuban. Sejarah pembangunan masjid ini tidak ada sangkut pautnya dengan Sunan Bonang, pembangunan masjid ini sendiri dilaksanakan pada tahun 1894, terpaut sekitar empat abad dari masa Sunan Bonang. Namun demikian kehadiran masjid ini telah menjadi saksi sejarah keberhasilan dakwah Sunan Bonang di Tuban.
Masjid Jami’ Tuban pertama kali dibangun pada abad ke-15 Masehi, yakni pada masa pemerintahan Adipati Raden Ario Tedjo (Bupati Tuban ke-7), letaknya tidak jauh dari kompleks makam Sunan Bonang, Raden Ario Tedjo sendiri merupakan Bupati Tuban pertama yang memeluk Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan masjid ini diperluas menjadi bangunan masjid yang dikenal sebagai Masjid Agung Tuban saat ini.
Masjid tersebut sempat mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi pertama kali dilakukan tahun 1894, yakni pada masa pemerintahan Raden Toemengoeng Koesoemodiko (Bupati ke-35 Tuban). Saat itu Raden Toemengoeng Koesoemodiko menggunakan jasa arsitek berkebangsaan Belanda, BOHM Toxopeus. Sebagaimana disebutkan dalam prasasti yang ada di depan masjid ini yang berbunyi :
“Batoe yang pertama dari inie missigit dipasang pada hari Akad tanggal 29 Djuli 1894 oleh R. Toemengoeng Koesoemodiko Boepati Toeban. Inie missigit terbikin oleh Toewan Opzicter B.O.H.M. Toxopeus.”
Bila bentuknya kita amati, Masjid Jami Tuban ini memiliki cari khas tersendiri. Secara garis besar, bentuk bangunannya terdiri atas dua bagian, yaitu serambi dan ruang shalat utama. Bentuknya tidak terpengaruh dengan kebiasaan bentuk masjid di Jawa yang atapnya bersusun tiga. Arsitektur masjid ini justru terpengaruh oleh corak Timur Tengah, India, dan Eropa. Sekilas tampak ada kemiripan dengan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, terutama bentuk berandanya yang dipertahankan hingga kini.
Renovasi selanjutnya dilakukan tahun 1985. Masjid mengalami perluasan. Kemudian, di tahun 2004 dilakukan renovasi total terhadap bangunan Masjid Agung Tuban oleh pemerintah Kabupaten Tuban. Renovasi yang dilakukan kali ini meliputi pengembangan satu lantai menjadi tiga lantai, menambah sayap kiri dan kanannya dengan mengadopsi arsitektur bangunan berbagai masjid terkenal di dunia serta penambahan enam menara masjid dengan luas keseluruhan mencapai 3.565 meter persegi.
Sumber : https://situsbudaya.id/

3. Masjid Cheng Ho

Masjid Cheng Ho Surabaya adalah Masjid bernuansa Muslim Tionghoa yang berlokasi di Jalan Gading, KetabangGentengSurabaya atau 1.000 m utara Gedung Balaikota Surabaya. Masjid ini didirikan atas prakarsa para sespuh, penasehat, pengurus PITI, dan pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur serta tokoh masyarakat Tionghoa di Surabaya. Pembangunan masjid ini diawali dengan peletakan batu pertama 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pembangunannya baru dilaksanakan 10 Maret 2002 dan baru diresmikan pada 13 Oktober 2002.
Masjid Cheng Ho, atau juga dikenal dengan nama Masjid Muhammad Cheng Ho Surabaya, ialah bangunan masjid yang menyerupai kelenteng (rumah ibadah umat Tri Dharma). Gedung ini terletak di areal komplek gedung serba guna PITI (Pembina Imam Tauhid Islam) Jawa Timur Jalan Gading No.2 (Belakang Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa), Surabaya. Masjid ini didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa Tiongkok lama. Pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda, terdapat juga relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah dalam huruf Arab di puncak pagoda. Di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk sebagai pelengkap bangunan masjid. Selain Surabaya, di Palembang juga telah ada masjid serupa dengan nama Masjid Cheng Ho Palembang atau Masjid Al Islam Muhammad Cheng Hoo Sriwijaya Palembang dan di Banyuwangi dengan nama Masjid Muhammad Cheng Hoo Banyuwangi.
https://id.wikipedia.org/

4. Masjid Jami’ Al Baitul Amien Jember

Masjid Jami’ Al Baitul Amien Jember terdiri dari dua bangunan masjid yang dipisahkan oleh jalan protokol jurusan Jember-Surabaya. Bangunan Masjid lama dibangun sejak zaman kolonial Belanda pada tanggal 19 Desember 1894 dengan luas 2.760 meter persegi. Masjid ini pernah mengalami renovasi pada tahun 1939 sebelum perang dunia II. Sedangkan bangunan masjid yang baru dibangun di atas tanah wakaf seluas 9.600 meter persegi dan diresmikan pada tanggal 3 Mei 1976 oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada saat itu.
Hal ini diungkapkan oleh Bapak Moh.Ihsan selaku pengurus masjid Jami’ Al Baitul Amien Jember. Beliau menceritakan gagasan awal mula dibangun masjid jami’ baru, karena pada tahun’70an setiap kali ibadah sholat jumat, jumlah jamaah di masjid jami’ lama meluber sampai ke jalan. Sehingga Bupati Jember saat itu yakni Letnan Kolonel Abdul Hadi berinisiatif memperluas dan membangun masjid yang baru, terletak bersebelahan dengan masjid jam’lama yang terletak di sebelah barat alun-alun kota Jember. Gagasan tersebut diungkapkan dalam suatu Khutbah Idul Adha tahun 1972, dimana Bupati menguraikan betapa pentingnya menggalang persatuan dan kesatuan, antara unsur Pemerintah dan Ulama. Meski dulunya Kabupaten tidak menyimpan dana lebih, namun pembangunan secara gotong royong dari masyarakat. Seperti diambilkan dari zakat atau shodaqah dari padi, dimanaJember mempunyai 80.000 HA sawah yang ditanami padi, dan tiap hektarnya waktu itu dapatmenghasilkan lebih kurang 5 – 6 tongabah, itupun satu tahun dapat dua kali panen.
Seluruh ulama mendukung dan menyepakatinya dengan persetujuan tertulis, kemudiandisampaikan ke DPRD Jember, yang juga setuju pada akhirnya. Hal ini pun mendapat restudari Gubernur JawaTimur, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama pada saat ituyangdituangkan dalam Surat Keputusan BupatiKepala Daerah Tingkat II Kabupaten Jember No.Sek./III/40/1972 tanggal 25 Oktober 1972, bertepatan dengan Peringatan Nuzulul Qur’antahun 1972 kemudian dibentuklah Panitia Pembangunan Masjid. Mengingat pengumpulan dana pembangunan Masjid Jami’melibatkan seluruhpenduduk di Kabupaten Jember, maka Kepanitiaan Pembangunan diteruskan sampai ditingkat Kecamatan dan desa. Di tiap desa, membuat Putusan Desa melalui Rembug Desa,tentang kesepakatan membantu Pembangunan Masjid Jam’ Jember, berupa gabah 1 (satu)kwintal per hektar pada dua musim panennya.
Dalam pemilihan nama masjid pada waktu pembangunan, sempat menjadi perdebatan. Beberapa usulan nama seperti Al Falah yang artinya petani, karena pembangunan masjid merupakan hasil dari gotong royong para petani Jember, adapula usulan nama Baitul Makmur yang berarti suatu tempat menuju surga, bahkan adapun yang mengusulkan nama Al Hadi, karena pembangunan masjid merupakan inisiatif Bupati Abdul Hadi. Namun pada akhirnya diputuskan bersama oleh para ulama, terutama berdasarkan usulan KH. Ahmad Shiddiq untuk memberikan nama masjid Al Baitul Amien, yang mempunyai arti sebagai rumah yang dijaga oleh Allah.
Setelah menemukan nama yang sesuai, dipilihlah lokasi pembangunan masjid. Penentuan lokasi Proyek Pembangunan Masjidmenjadi masalah tersendiri karena konsepbangunan masjid memerlukan tanah yang luassehingga ada yang mengusulkan di tempatkan di sekitar Sembah Demang untuk memperolehtanah dan lokasi yang luas dan tinggi, ada yang mengusulkan ditempatkantanahnya H.Salim Arifin (sekarang ditempati Kantor Telkom ) dekat dengan Pasar Tanjung agar jamaahnyamenjadi banyak dansebagian lagi menghendaki bangunan masjid tersebut hendaknya tetap di pusat kota dengan membongkar Masjid yang lama.Pendapat terakhir ini mendapattantangan dari seorang tokoh Ulama, beliau tidak menyetujui renovasi masjid tersebut dengan membongkar masjid yang lama karena menghilangkanjariyah orang orang terdahulu. Akhirnya Bupati Abd. Hadi selaku Ketua Panitia PusatPembangunan Masjid Jami’ Jember mengambil jalan tengah yaitu bahwasanya ProyekPembangunan Masjid Jami’ Jember diletakkan di tengah kota disamping masjid yang lama, ( tanpa membongkar masjid lama) dengan cara membeli tanah dan rumah sederetan toko-toko dipinggirJl Raya Sultan Agung, membeli rumah rumah huni diatas tanah pengairan dekat sungai Jompo, membeli tanah di Arjasa untuk mengganti dan memindahkan tanah dan rumah dinas / Kantor Pembantu Bupati Jember Kota, dan memindahkan selokan penggelontor yang tadinya di tengah tanah proyek ke pinggir jalan atau pinggir proyek Masjid Jami’ Jember.
Untuk konsep Bangunan Masjid Jami’ Al Baitul Amien Jember ini pun, pemerintah menunjukarsitek dari tamatan California yakni Yaying K. Keser A.I.A, Jakarta.
Beberapa alasan yang menjadi landasan dari bentuk arsitektur masjid jami’ al baitul amien Jember yakni Dipilihnya bentuk bundar (segmen bola), yang menggambarkan meluasnya kebutuhan seluruh umat manusia tanpa dibatasi dengan sudut-sudut tertentu yang kemudian tertuang dalam wujud bentuk kubah, merupakan segmen-segmen bola yang saling bertumpu satu dengan yang lain, yang menggambarkan saling berkaitannya kebutuhan manusia dengan yang lain, dimana pada ini semua agama dan tradisi dipengaruhi oleh bentuk bundar, sejak dari bangunan Qubah as Sakhrah, di Masjid Aqsho, juga beberapa agama tauhid tempat ibadahnya dipengaruhi bentuk bundar.
Sumber : https://situsbudaya.id/

5. Masjid Tiban Malang

Masid Turen merupakan sebuah pondok pesantren. Nama Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah adalah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah), yang terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim Gang Anggur No.10, RT 07 / RW 06 Desa SananrejoTurenKabupaten Malang. Menurut salah seorang panitia, ponpes tersebut artinya segarane, segara, madune, Fadhole Rohmat. Rintisan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah ini dimulai pada 1963 oleh Romo Kyai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kyai Ahmad.
Ponpes ini dibangun sejak tahun 1978 di areal seluas 4 hektare, dan kira-kira baru 1,5 hektare dari luas tanah itu yang digunakan untuk bangunan utamanya. Arsitekturbangunannya sangat menawan. Sangat serius. Ini terlihat di setiap detail ornamennya. Benar-benar tak disangka, jika di sebuah desa kecil Sananrejo, TurenKabupaten Malangberdiri sebuah bangunan yang arsitekturnya yang bisa membuat hati berdecak kagum. Begitu datang ke sini, pengunjung akan disambut oleh sebuah wahana demi wahana, dari melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di dalam bangunan pondok pesantren ini, sampai keluar. Dari tingkat pertama sampai dengan tingkatnya yang ke sepuluh.
Lebih dari itu, arsitektur yang dipakai bukan hasil ilmu dan imajinasi seorang arsitek yang handal. Tapi dari hasil istikharah si pemilik pondok, KH Ahmad Bahru Mafdlaludin Soleh. Bangunan ini tidak dapat diperkirakan jadinya, sekarang sudah 10 lantai dibangun, bisa jadi nanti ditambah atau bisa-bisa dikurangi. Karena semua tergantung istikharah Romo Kyai (Kyai Ahmad, pen.). Romo Kyai juga yang ngepaskan amalan-amalan. Mungkin karena itu, banyak berita bahwa bangunan ini adalah masjid tiban (tiba-tiba ada). Padahal ini bukan masjid tapi ponpes, Gus Alief (santri) berkata “tiap hari selalu datang pengunjung dari berbagai kota ke ponpes ini. Di buku tamu pun berbagai komentar tentang keindahan ponpes ini tertulis. Bahkan, tak jarang ada yang mengaku tersentuh hatinya ketika memasuki sebuah ruang. Tiap orang berbeda.”
Sejak tahun 1978, Kyai Ahmad murid Kiai Sahlan di Sidoarjo ini memilih Turen untuk mendirikan ponpesnya. Sejak itulah, dengan dibantu oleh para santrinya, Kiai Ahmad memulai pembangunan ponpes dengan alat pertukangan sederhana dan proses belajar sendiri. Jadi jangan heran kalau akhirnya santri-santrinya punya spesialis ketrampilan. Santri Kiai Ahmad sekarang ada 32 yang sudah berkeluarga dan tinggal di sini. Jadi bisa dihitung tambahan santrinya. Sedang yang belum berkeluarga ada 37 orang. Semua santri itulah yang menjadi tukang sekaligus mandor bangunan ini. Mereka bekerja tidak menggunakan alat-alat berat modern. Semua dikerjakan sendiri.
Dengan belajar langsung dalam pembangunan ponpes inilah para santri diajar mengaji kehidupan sehari-hari. Mereka yang sudah berkeluarga pun yang belum akan memiliki peran sendiri-sendiri Di ponpes ini, orang bertabiat A sampai Z ada. Di sinilah mereka tersentuh hatinya. Dengan ikut berpartisipasi ini mereka mengamalkan ajaran cinta bukan pahala.
Harus diakui, lamanya proses pembagunan ponpes ini mengisyaratkan perlunya kesabaran dan keikhlasan. Tiap detail ornamen harus digarap dengan sabar dan teliti. Selain pekerjaan yang tak mudah itu, sebagai tukang, para santri juga bukan orang yang dibayar. Keikhlasanlah yang akhirnya menjadi oase di dalam hatinya. “Semua itu tentu saja sumbernya dari cinta. Dalam agama kita diajarkan itu semua. Dengan menjalani itu semua para santri membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati. Kalau raganya yang sakit, datang ke sini maka yang disembuhkan adalah hatinya dulu,” urai Gus Alief. Sesudah itu semua, yang tak boleh dilupakan adalah ibadah syukur. “Ngibadah syukur tidak ada berhentinya. Yang tidak bisa, ya kita doakan saja.” Pungkas Gus Alief.
Sumber : https://id.wikipedia.org/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *